". . . .Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial"
Begitulah kiranya pekikan tersirat dari naskah UUD 1945. Sebuah pekikan tersirat nan mengandung begitu banyak amanah dan cita-cita luhur dari para pendiri bangsa ini. Salah satu cita-cita luhur yang tercantum didalamnya adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Para pendiri bangsa ini sadar bahwasanya pilar dari sebuah peradaban bangsa berakar dari sebuah pendidikan. Negara yang jauh dan mengesampingkan nilai-nilai pendidikan maka dapat dipastikan bahwasanya negara tersebut akan jauh pula dari harumnya semerbak peradaban.
Dalam ungkapannya Anies Baswedan mengungkapkan suatu pernyataan menarik,"Jika ingin membangun Bangsa, maka bangunlah manusianya terlebih dahulu". Hal ini begitu selaras pula dengan teori yang dikemukakan oleh Meier & Stighlitz (2011)bahwasanya teori pembangunan berevolusi dari pandangan modal sebagai sumber daya utama menjadi manusia sebagai titik sentral pembangunan. membangun manusia tentunya tidak lepas dari pembangunan dalam dunia pendidikan itu sendiri, karena sejatinya manusia di bentuk dan di tempat dalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan primer (orang tua) sampai dengan pendidikan Formal/non Formal (lembaga Pendidikan).
Pra dan Pasca kemerdekaan, api semangat membangun bangsa ini begitu nampak kuat di dalam semangat masyarakat. berbagai elemen dari sabang sampai dengan merauke, dari pulau miangas sampai dengan rote mereka saling bahu membahu dalam menytumbangkan sejumlah iuran untuk bangsa ini. Ada yang iuran Pikiran, Tenaga, modal, bahkan sampai dengan merelakan tetes darahnya untuk bangsa ini. Alasan mereka bukan untuk bagaimana nantinya anak cucunya dapat menikmati hasil dari iuran tersebut, akan tetapi yang demikian adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan yang mereka ikhlaskan untuk bangsa ini, tanpa mengharap imbalan nantinya. Namun nampaknya semakin hari masyarakat semakin amnesia terhadap amanat, cita-cita dan janji bersama yang tertuang dalam naskan mulia UUD 1945. Salah besar ketika kebanyakan dari masyarakat kita mengartikan bahswasanya usaha kemerdekaan hanya sebatas menggulung kolonialisme yang merugikan masyarakat, akan tetapi usaha kemerdekaan tersebut untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Inilah yang harus kita perjuangkan guna melunasi janiji-janji kemerdekaan yang telah kian lama terasingkan oleh kepentingan-kepentingan golongan, pribadi dan kepentingan yang mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah di sepakati bersama.
Pra dan Pasca kemerdekaan, api semangat membangun bangsa ini begitu nampak kuat di dalam semangat masyarakat. berbagai elemen dari sabang sampai dengan merauke, dari pulau miangas sampai dengan rote mereka saling bahu membahu dalam menytumbangkan sejumlah iuran untuk bangsa ini. Ada yang iuran Pikiran, Tenaga, modal, bahkan sampai dengan merelakan tetes darahnya untuk bangsa ini. Alasan mereka bukan untuk bagaimana nantinya anak cucunya dapat menikmati hasil dari iuran tersebut, akan tetapi yang demikian adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan yang mereka ikhlaskan untuk bangsa ini, tanpa mengharap imbalan nantinya. Namun nampaknya semakin hari masyarakat semakin amnesia terhadap amanat, cita-cita dan janji bersama yang tertuang dalam naskan mulia UUD 1945. Salah besar ketika kebanyakan dari masyarakat kita mengartikan bahswasanya usaha kemerdekaan hanya sebatas menggulung kolonialisme yang merugikan masyarakat, akan tetapi usaha kemerdekaan tersebut untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Inilah yang harus kita perjuangkan guna melunasi janiji-janji kemerdekaan yang telah kian lama terasingkan oleh kepentingan-kepentingan golongan, pribadi dan kepentingan yang mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah di sepakati bersama.
"Lebih baik menyalakan lilin, dari pada harus mengutuk kegelapan". (Anies Baswedan)
Begitulah ungkapannya ketika melihat fenomena-fenomena masalah yang terjadi pada sistem pendidikan kita saat ini. kita diajak bagaimana berfikir menuju generasi yang kritis optimis, yaitu generasi yang tidak hanya memberikan kritik-kritik saja, akan tetapi mampu memberikan solusi-solusi nyata bagi setiap permasalahan yang ada dalam ranah pendidikan. dari hasil studi lapangan bahwasanya masigh banyak sekali problem yang harus kita benahi dalam sektor pendidikan mulai dari sistem dan aturan sampai dengan kapabilitas seorang guru dalam mendidik, dari segi manusia anies memandangf bahwasanya ada tiga hal yang menjadi pokok permasalahan Human Resource dalam Pendidikan.
1. Kapabilitas Seorang Pendidik
Masih banyak pendidik yang ada dalam bangsa ini yang kurang mengerti akan jati diri yang sebenarnya sebagai seoarang pendidik. kebanyakan mereka masih terpaku dengan paradigma bahwasanya pendidikan hanya dinilai sebagai profesi semata, tidak banyak dari mereka yang berfikiran bahwasanya menjadi seorang pendidik adalah sebuah tanggung jawab moral yang tinggi, yang nantinya akan di pertanggungjawabkan kepada Tuhan, bangsa, dan Negara, tentunya demi sebuah pencerahan yang nantinya di berikan kepada anak-anak Negeri.
2. Distribusi Pendidik
Ada anggapan bahwasanya pembangunan yang ada di bangsa ini masih berpusat di jawa. Ya itu benar. Betapa kita lihat dan bandingkan (Sektor Pendidikan) antara sekolah-sekolah yang ada di luar pulau jawa-dengan yang ada di pulau jawa, maka dapat kita rasakan bahwasanya masih lah banyak ketimpangan dan kesenjangan yang ada di dalamnya, betapa tidak, bahwasanya pendidik-pendidik yang masuk dalam kualitas menengah keatas, semuanya masih berpusat untuk mendidik di Pulau jawa saja, sedangkan untuk pulau luar jawa sungguh masih banyak kekurangan stock pendidik yang berkualitas. maka berkaca dengan itu perlu adantya suatu distribusi pemerataan untuk kalangan pendidik menengah keatas agar dapat mengurangi kesenjangan dan ketimpangan yang ada.
3. Kesejahteraan Pendidik
Dahulu Ketika nagasaki dan Hirosima (jepang) terkena imbas dari adanya perang dunia ke 2, dimana pada saat itu kedua kota di jepang tersebut luluh lantah karena bom bardir nuklir dari sekutu, maka pasca pemboman tersebut. Oleh kaisar yang saat itu masih menjabat, hal yang pertama kali ditanya dia adalah "Berapa jumlah Guru yang masih tersisa disini" lantas kemudia sang kaisar mengerahkan energi besar-besaran untuk melakukan restorasi salah satunya adalah membangun kembali pendidikan pasca perang dunia 2, salah satunya adalah dengan menghargai guru sebagai sebagai profesi dan gerakan moral untuk bangkit. hal itu pula tidak di simbolkan dengan retorika-retorikan semata, akan tetapi dengan sebuah bentuk penghargaan yang nyata kepada guru yang masih tersisa yaitu dengan membayar mahal untuk profesi tersebut. coba kita bandingkan dengan apa yang ada diindonesia, dimana formalitaslah yang dibayart mahal tanpa memperhatikan kesungguhan seorang pendidik dalam mengabdikan dirinya untuk ikut serta dalam melunasi janji-janji kemerdekaan. Betapa resah hati ini ketika melihat masih banyak guru honorer yang hanya di bayar 150rb saja dalam sebulan. sungguh amat timpang.
Jika ketiga hal diatas dapat teratasi, maka sesungguhnya tidak ada yang tidak mungkin untuk mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi kualitas yang sejajar dengan pendidikan nomor 1 dunia (venezuela). yang terpenting dan dapat kita lakukan disini adalah sesuai dengan apa yang Anies baswedan sampaikan, bahwasanya lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan, meningkatkan kapabilias diri menjadi generasi yang kritis optimis, bukan generasi kritis pesimis, generasi yang hanya bisa mengkritik tanpa ada solusi-solusi yang ditawarkan. Mari Turun Tangan, untuk pendidikan yang lebih baik. Bersama "Indonesia Mengajar".
Jika ketiga hal diatas dapat teratasi, maka sesungguhnya tidak ada yang tidak mungkin untuk mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi kualitas yang sejajar dengan pendidikan nomor 1 dunia (venezuela). yang terpenting dan dapat kita lakukan disini adalah sesuai dengan apa yang Anies baswedan sampaikan, bahwasanya lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan, meningkatkan kapabilias diri menjadi generasi yang kritis optimis, bukan generasi kritis pesimis, generasi yang hanya bisa mengkritik tanpa ada solusi-solusi yang ditawarkan. Mari Turun Tangan, untuk pendidikan yang lebih baik. Bersama "Indonesia Mengajar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar