Bergeraklah seindah Mentari pagi menyinari bumi, ia bergerak memberikan kehangatan namun tak membakar. Bergeraklah atas dasar apa yang kalian pelajari dan pahami, bukan sebatas apa yang kalian ketahui. (Semangat Peradaban, DPM FE 2016)

Sabtu, 28 Juni 2014

Youth is civilization Shoulders

A civilization, it is perfect to be achieved when in motion by the youth. youth here not in the sense of the age limit (age 18-30), but youth is having a passion for building, have a strong character of the truth, and have a high innovation to make changes.

No change without youth.
we can see some changes in each country. example is the United States. U.S. revolution driven by youth. The Country foundation was founded by a young like Benjamin Franklin, George Washington, John Adams, Thomas Jefferson, John Jay, James Madison, and Alexander Hamilton until obama who have high skill in government. We can see also in Indonesia, there Ir. Soekarno, moh. Hatta, syahrir, etc. who is founding father of Indonesia, they are young. Which state is not established enumerated by youth?
Until now we are agree, that the youth are agents of change.
So, what youth can do to change?

for promoting diversity in unity, we can make changes through in 3 sectors.

1.     Education
Education is a primary basic to build the character of a person. all the good things we can teach to the next generation including teaching diversity in unity, as an obvious example. since childhood I was taught by my teacher about the meaning of togetherness without discrimination. so far I was aware of and understand the meaning of togetherness and able to apply them in everyday of my life, especially when gathered with people outside, I can interact well with them.
in terms of education, I would like to offer ideas, to form a youth group that inspires kids country with no strings attached. we create a training center for students, and shaping the world youth forum.


      2.  Media
a good organization, if in it there are 5 components. Good human, good system, finance, media and leadership who make changes in organization.
The media is having a lot of influence on the formation of public thinking. Good news media, can form a good thinking and Bad news media, can form a bad idea. but lately, a lot of media that provide mostly bad news. their view, the bad news is news of interest (bad news is Good news). Like as dropping news, news slander, media war and the news that there is no truth.
in terms of the media, I would like to offer ideas

-          form a new creative and innovative Media
form of creative media is meant to follow up my ideas about education. we can expose both activities, which we do through our media more creatively. so there will be a new public discourse on the importance of togetherness. This medium is also intended to keep the climate that we have built together, the way it displays news wich continuously about togetherness of  diversity in Unity.

-          forming infiltration movement to other media
This move is intended to curb the evil media that poisons public mindsets. we are planning a career in it to occupy strategic positions, so when it is in a strategic position, we can replace bad news into good news. however, this strategy requires high professional and in a short time is not.

Jumat, 27 Juni 2014

Menagih Janji Kemerdekaan

". . . .Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial"
     Begitulah kiranya pekikan tersirat dari naskah UUD 1945. Sebuah pekikan tersirat nan mengandung begitu banyak amanah dan cita-cita luhur dari para pendiri bangsa ini. Salah satu cita-cita luhur yang tercantum didalamnya adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Para pendiri bangsa ini sadar bahwasanya pilar dari sebuah peradaban bangsa berakar dari sebuah pendidikan. Negara yang jauh dan mengesampingkan nilai-nilai pendidikan maka dapat dipastikan bahwasanya negara tersebut akan jauh pula dari harumnya semerbak peradaban.

      Dalam ungkapannya Anies Baswedan mengungkapkan suatu pernyataan menarik,"Jika ingin membangun Bangsa, maka bangunlah manusianya terlebih dahulu". Hal ini begitu selaras pula dengan teori yang dikemukakan oleh Meier & Stighlitz (2011)bahwasanya teori pembangunan berevolusi dari pandangan modal sebagai sumber daya utama menjadi manusia sebagai titik sentral pembangunan. membangun manusia tentunya tidak lepas dari pembangunan dalam dunia pendidikan itu sendiri, karena sejatinya manusia di bentuk dan di tempat dalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan primer (orang tua) sampai dengan pendidikan Formal/non Formal (lembaga Pendidikan).

     Pra dan Pasca kemerdekaan, api semangat membangun bangsa ini begitu nampak kuat di dalam semangat masyarakat. berbagai elemen dari sabang sampai dengan merauke, dari pulau miangas sampai dengan rote mereka saling bahu membahu dalam menytumbangkan sejumlah iuran untuk bangsa ini. Ada yang iuran Pikiran, Tenaga, modal, bahkan sampai dengan merelakan tetes darahnya untuk bangsa ini. Alasan mereka bukan untuk bagaimana nantinya anak cucunya dapat menikmati hasil dari iuran tersebut, akan tetapi yang demikian adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan yang mereka ikhlaskan untuk bangsa ini, tanpa mengharap imbalan nantinya.
 Namun nampaknya semakin hari masyarakat semakin amnesia terhadap amanat, cita-cita dan janji bersama yang tertuang dalam naskan mulia UUD 1945. Salah besar ketika kebanyakan dari masyarakat kita mengartikan bahswasanya usaha kemerdekaan hanya sebatas menggulung kolonialisme yang merugikan masyarakat, akan tetapi usaha kemerdekaan tersebut untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Inilah yang harus kita perjuangkan guna melunasi janiji-janji kemerdekaan yang telah kian lama terasingkan oleh kepentingan-kepentingan golongan, pribadi dan kepentingan yang mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah di sepakati bersama.

         "Lebih baik menyalakan lilin, dari pada harus mengutuk kegelapan". (Anies Baswedan)

          Begitulah ungkapannya ketika melihat fenomena-fenomena masalah yang terjadi pada sistem pendidikan kita saat ini. kita diajak bagaimana berfikir menuju generasi yang kritis optimis, yaitu generasi yang tidak hanya memberikan kritik-kritik saja, akan tetapi mampu memberikan solusi-solusi nyata bagi setiap permasalahan yang ada dalam ranah pendidikan. dari hasil studi lapangan bahwasanya masigh banyak sekali problem yang harus kita benahi dalam sektor pendidikan mulai dari sistem dan aturan sampai dengan kapabilitas seorang guru dalam mendidik, dari segi manusia anies memandangf bahwasanya ada tiga hal yang menjadi pokok permasalahan Human Resource dalam Pendidikan.

1. Kapabilitas Seorang Pendidik
       Masih banyak pendidik yang ada dalam bangsa ini yang kurang mengerti akan jati diri yang sebenarnya sebagai seoarang pendidik. kebanyakan mereka masih terpaku dengan paradigma bahwasanya pendidikan hanya dinilai sebagai profesi semata, tidak banyak dari mereka yang berfikiran bahwasanya menjadi seorang pendidik adalah sebuah tanggung jawab moral yang tinggi, yang nantinya akan di pertanggungjawabkan kepada Tuhan, bangsa, dan Negara, tentunya demi sebuah pencerahan yang nantinya di berikan kepada anak-anak Negeri.

2. Distribusi Pendidik
     Ada anggapan bahwasanya pembangunan yang ada di bangsa ini masih berpusat di jawa. Ya itu benar. Betapa kita lihat dan bandingkan (Sektor Pendidikan) antara sekolah-sekolah yang ada di luar pulau jawa-dengan yang ada di pulau jawa, maka dapat kita rasakan bahwasanya masih lah banyak ketimpangan dan kesenjangan yang ada di dalamnya, betapa tidak, bahwasanya pendidik-pendidik yang masuk dalam kualitas menengah keatas, semuanya masih berpusat untuk mendidik di Pulau jawa saja, sedangkan untuk pulau luar jawa sungguh masih banyak kekurangan stock pendidik yang berkualitas. maka berkaca dengan itu perlu adantya suatu distribusi pemerataan untuk kalangan pendidik menengah keatas agar dapat mengurangi kesenjangan dan ketimpangan yang ada.

3. Kesejahteraan Pendidik
     Dahulu Ketika nagasaki dan Hirosima (jepang) terkena imbas dari adanya perang dunia ke 2, dimana pada saat itu kedua kota di jepang tersebut luluh lantah karena bom bardir nuklir dari sekutu, maka pasca pemboman tersebut. Oleh kaisar yang  saat itu masih menjabat, hal yang pertama kali ditanya dia adalah "Berapa jumlah Guru yang masih tersisa disini" lantas kemudia sang kaisar mengerahkan energi besar-besaran untuk melakukan restorasi salah satunya adalah membangun kembali pendidikan pasca perang dunia 2, salah satunya adalah dengan menghargai guru sebagai sebagai profesi dan gerakan moral untuk bangkit. hal itu pula tidak di simbolkan dengan retorika-retorikan semata, akan tetapi dengan sebuah bentuk penghargaan yang nyata kepada guru yang masih tersisa yaitu dengan membayar mahal untuk profesi tersebut. coba kita bandingkan dengan apa yang ada diindonesia, dimana formalitaslah yang dibayart mahal tanpa memperhatikan kesungguhan seorang pendidik dalam mengabdikan dirinya untuk ikut serta dalam melunasi janji-janji kemerdekaan. Betapa resah hati ini ketika melihat masih banyak guru honorer yang hanya di bayar 150rb saja dalam sebulan. sungguh amat timpang.

    Jika ketiga hal diatas dapat teratasi, maka sesungguhnya tidak ada yang tidak mungkin untuk mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi kualitas yang sejajar dengan pendidikan nomor 1 dunia (venezuela). yang terpenting dan dapat kita lakukan disini adalah sesuai dengan apa yang Anies baswedan sampaikan, bahwasanya lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan, meningkatkan kapabilias diri menjadi generasi yang kritis optimis, bukan generasi kritis pesimis, generasi yang hanya bisa mengkritik tanpa ada solusi-solusi yang ditawarkan. Mari Turun Tangan, untuk pendidikan yang lebih baik. Bersama "Indonesia Mengajar".

The future of the nation, is in our hands


Masa lalu, masa kini dan masa depan adalah serangkaian waktu yang saling bersinergis dalam membentuk sebuah peradaban. Semua itu berputar seperti hal nya perjalanan hidup manusia, dari mulai bayi, anak-anak, remaja sampai dengan orang tua yang nantinya mau tidak  mau harus terkubur dalam himpitan tanah yang begitu gelap. Masa lalu adalah masa yang hanya dapat dikenang dan dijadikan sebuah pelajaran berharaga oleh setiap insan yang sudah terlepas dari ego masa kini. Seperti yang bung karno katakan pada masanya.

“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari masa yang akan datang” (dalam pidatonya di HUT Proklamasi 1966). Dan masa kini adalah masa yang harus dijalani, masa dimana semua impian kedepan digagas didalamnya. Sedangkan masa depan adalah suatu prediksi ketidak pastian atas rumusan yang telah dibuat pada masa sekarang dengan bercermin pada cerita masa lalu (Masa lalu). Masa depan adalah suatu hal yang harus benar-benar kita konsep menjadi sebuah hal yang nantinya akan mampu membawa kita menjadi bagian dari sejarah umat. Bagian dari perdaban-peradaban cemerlang hasil buah karya manusia, bukan hanya menjadi bangsa yang hidup di pinggiran sejarah.

Indonesia  adalah salah satu bangsa yang berpotensi menjadi salah satu negara yang terombang-ambingkan dalam lautan sejarah jikalau semangat pemuda revolusioner tidak ada lagi di negeri ini. Semangat minoritas yang tidak bisa mengalahkan kaum hedonisme mayoritas.

“Perjuanganku lebih mudah karena hanya melawan penjajah, tapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri ” (Pidato bung karno saat HUT Proklamasi 1963)

Pada era penjajahan , tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hanyalah satu semata. Yaitu bagaimana ia bisa melepaskan diri dari belenggu penyiksaan, belenggu perenggut kebebasan asasi manusia, yaitu penjajahan. Bangga Indonesia hanya dihadapkan pada  masalah bagaimana cara untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Menjadi sebuah Negara yang merdeka yang tentunya adalah dengan cara mengusir para penjajah dengan jalan perang. Namun lain halnya dengan perjuangan pada era saat ini, khususnya pasca reformasi dimana banyak sekali problematika yang melanda bangsa ini, mulai dari sistem yang ada didalamnya sampai dengan tekanan-tekanan yang datang dari luar. Semua itu bercampur, dan menjadi suatu hal yang komperehensif yang menjadikan bangsa Indonesia menjadi dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa yang lainnya. Ini jelas tantangan yang lebih sulit dibandingkan dengan mengusir para penjajah. Seandainya tumbuhan, tambang-tambang emas, tambang batu bara, kandungan minyak bumi Indonesia, mereka semuanya dapat berbica, maka setidaknya satu hal yang mereka katakan adalah “Kami ingin para pendiri bangsa ini dibangkitkan untuk memimpin kami kembali”. Penataan masa depan harus benar-benar ditanamkan dalam setiap benak individu masyarakat Indonesia, Penataan yang mengarah pada seluruh sendi kehidupan, bukan penataan yang mencoba mengarahkan semuanya menjadi satu hal yang monoton. Mulai dari sumber daya manusia, Alam, hingga sumber daya buatan manusia. Itulah yang yang harusnya bisa difikirkan oleh mereka yang duduk diatas sana, harus memikirkan pula untuk mengubah mindset dari politikus menjadi seorang nagarawan sejati.

Pemuda dan Peradaban




“Setiap hari saya menghadapi  masalah yang berat, namun setiap kali yang ku panggil adalah Pemuda” (Umar Bin Al Khotob)

Begitulah kata “Umar Bin Al Khotob” pada masanya ketika memimpin sebuah peradaban gemilang dalam dunia ke Islaman. Dalam hal ini pemuda dikatakan sebagai pilar dari adanya kebangkitan peradaban besar umat manusia. Peradaban yang mampu menggoreskan tinta kejayaan dalam lembaran sejarah manusia. Peradaban yang mampu menjunjung tinggi martabat manusia beserta kodrat alamiahnya. Bukan hanya sekedar peradaban yang menjurus pada degredasi moralitas sebuah bangsa. Maka disinilah letak peran strategis seorang pemuda dalam membawa risalah-risalah perubahan progresifitas.

Beban perubahan senantiasa diamanahkan  oleh para pemuda dalam pergerakannnya, untuk terciptanya sebuah peradaban yang gemilang. Dari hal ini dapat dikatakan bahwasanya perubahan itu akan tercipta manakala ada sebuah integritas yang kuat antara pemuda dan risalah yang diamahkannya. Sejauh mana pergerakan tersebut dapat direalisasikan dengan baik dalam berbagai segi kehidupan, maka sejauh itu pula perubahan yang akan di dapatinya (tanpa terdistorsi oleh degredasi moral).

Sekiranya kita membahas sebuah peradaban maka hal itu tak akan pernah lepas dari sebuah perubahan-perubahan,. Ketika kita mengkaji sebuah perubahan maka hal itu tidak lepas dari progresifitas pergerakan, ketika kita membicarakan progresifitas pegerakan maka hal itu tak akan pernah lepas dari peran serta pemuda selaku tonggak tegak berdirinya sebuah peradaban, dan ketika kita menepis arti kata pemuda maka mahasiswa lah penyumbang utama adanya pemuda-pemuda tangguh, pemuda yang terlepas dari sebuah ruang privat yang hanya akan menjurus terhadap fested interest semata. Oleh karena itulah dalam hal ini mahasiswa memiliki peran yang strategis dalam setiap sektor pembangunan publik dalam sebuah tata kelola Negara.

Nampaknya, perlu ada sebuah klarifikasi mengenai peran strategis pemuda yang membawa risalah-risalah perubahan. Lalu Mahasiswa yang seperti apa ?? Itu adalah pertanyaan yang mendasar bagi setiap orang dalam menanggapi wacana “mahasiswa sebagai pembawa risalah perubahan ( Agent Of Change)”. Sejatinya mahasiswa bukanlah makhluk suci yang diturunkan dari langit guna membantu mengentasakan setiap permasalahan yang ada di dunia. mahasiswa sama seperti halnya manusia biasa yang diciptakan dari tanah pada awal penciptaannya. Mahasiswa adalah bagian dari masyarakat, dimana ia adalah simbol dari hati nurani rakyat yang turut merasakan pedihnya tirani yang ada dalam suatu negara.

       Banyak kategori-kategori yang melekat dalam sebutan dunia Mahasiswa. Ada yang disebut Mahasiswa kupu-kupu ( kuliah pulang, kuliah pulang), ada mahasiswa kura-kura ( kuliah rapat, kuliah rapat), kuci-kuci (kuliah nyuci, kuliah nyuci), Kuning-kuning (kuliah maning, kuliah maning, ,saking betahnya tuh dikampus, sampai-sampai 14 semester di borong abis).  Ya itulah sebutan yang kerap kali terlintas dalam telinga kita. Lalu mana yang paling ideal? Tegas dikatakan bahwasanya pemuda revolusioner adalah pemuda yang kreatif dan inovatif, visioner dan memiliki keunggulan hati. bukan pemuda yang mati akal dan fikirannya (red ; tidak dikelola dengan baik), bukan pula pemuda yang menggunakan fikirannya tanpa di imbangi nuraninya dalam setiap tindakannya, ataupun pemuda yang fikirannya banyak disusupi oleh hal-hal yang fragmatis (red ; cukel, dangkal, kotor, banyak sarang laba-laba diotaknya). karena Kita tak dapat memandang suatu perubahan dari satu prespektif saja, maka banyak perubahan-perubahan yang mungkin saja itu ideal bagi setiap mahasiswa dalam muaranya kepada peradaban sejati. Biarkan pluralisme menjadi warna dalam setiap langkah pergerakan mahasiswa. karena tanpa warna, pergerakan hanya akan menjadi gelap dan monoton di setiap kurun waktunya. Namu  Jangan biarkan pula “mahasaiswa sebagai agent of change” hanya sekedar menjadi mitos yang beredar dikalangan masyarakat, membutakan mengenai realitas dan harapan masyarakat. Mari bergerak bersama dalam menyongsong perubahan-perubahan menuju muara peradaban sejati. Hidup mahasiswa . . . !


Menagih Janji Kemerdekaan

". . . .Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial"
     Begitulah kiranya pekikan tersirat dari naskah UUD 1945. Sebuah pekikan tersirat nan mengandung begitu banyak amanah dan cita-cita luhur dari para pendiri bangsa ini. Salah satu cita-cita luhur yang tercantum didalamnya adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Para pendiri bangsa ini sadar bahwasanya pilar dari sebuah peradaban bangsa berakar dari sebuah pendidikan. Negara yang jauh dan mengesampingkan nilai-nilai pendidikan maka dapat dipastikan bahwasanya negara tersebut akan jauh pula dari harumnya semerbak peradaban.

      Dalam ungkapannya Anies Baswedan mengungkapkan suatu pernyataan menarik,"Jika ingin membangun Bangsa, maka bangunlah manusianya terlebih dahulu". Hal ini begitu selaras pula dengan teori yang dikemukakan oleh Meier & Stighlitz (2011)bahwasanya teori pembangunan berevolusi dari pandangan modal sebagai sumber daya utama menjadi manusia sebagai titik sentral pembangunan. membangun manusia tentunya tidak lepas dari pembangunan dalam dunia pendidikan itu sendiri, karena sejatinya manusia di bentuk dan di tempat dalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan primer (orang tua) sampai dengan pendidikan Formal/non Formal (lembaga Pendidikan).

     Pra dan Pasca kemerdekaan, api semangat membangun bangsa ini begitu nampak kuat di dalam semangat masyarakat. berbagai elemen dari sabang sampai dengan merauke, dari pulau miangas sampai dengan rote mereka saling bahu membahu dalam menytumbangkan sejumlah iuran untuk bangsa ini. Ada yang iuran Pikiran, Tenaga, modal, bahkan sampai dengan merelakan tetes darahnya untuk bangsa ini. Alasan mereka bukan untuk bagaimana nantinya anak cucunya dapat menikmati hasil dari iuran tersebut, akan tetapi yang demikian adalah sebuah perjuangan dan pengorbanan yang mereka ikhlaskan untuk bangsa ini, tanpa mengharap imbalan nantinya.
 Namun nampaknya semakin hari masyarakat semakin amnesia terhadap amanat, cita-cita dan janji bersama yang tertuang dalam naskan mulia UUD 1945. Salah besar ketika kebanyakan dari masyarakat kita mengartikan bahswasanya usaha kemerdekaan hanya sebatas menggulung kolonialisme yang merugikan masyarakat, akan tetapi usaha kemerdekaan tersebut untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Inilah yang harus kita perjuangkan guna melunasi janiji-janji kemerdekaan yang telah kian lama terasingkan oleh kepentingan-kepentingan golongan, pribadi dan kepentingan yang mengabaikan nilai-nilai luhur yang telah di sepakati bersama.

         "Lebih baik menyalakan lilin, dari pada harus mengutuk kegelapan". (Anies Baswedan)

          Begitulah ungkapannya ketika melihat fenomena-fenomena masalah yang terjadi pada sistem pendidikan kita saat ini. kita diajak bagaimana berfikir menuju generasi yang kritis optimis, yaitu generasi yang tidak hanya memberikan kritik-kritik saja, akan tetapi mampu memberikan solusi-solusi nyata bagi setiap permasalahan yang ada dalam ranah pendidikan. dari hasil studi lapangan bahwasanya masigh banyak sekali problem yang harus kita benahi dalam sektor pendidikan mulai dari sistem dan aturan sampai dengan kapabilitas seorang guru dalam mendidik, dari segi manusia anies memandangf bahwasanya ada tiga hal yang menjadi pokok permasalahan Human Resource dalam Pendidikan.

1. Kapabilitas Seorang Pendidik
       Masih banyak pendidik yang ada dalam bangsa ini yang kurang mengerti akan jati diri yang sebenarnya sebagai seoarang pendidik. kebanyakan mereka masih terpaku dengan paradigma bahwasanya pendidikan hanya dinilai sebagai profesi semata, tidak banyak dari mereka yang berfikiran bahwasanya menjadi seorang pendidik adalah sebuah tanggung jawab moral yang tinggi, yang nantinya akan di pertanggungjawabkan kepada Tuhan, bangsa, dan Negara, tentunya demi sebuah pencerahan yang nantinya di berikan kepada anak-anak Negeri.

2. Distribusi Pendidik
     Ada anggapan bahwasanya pembangunan yang ada di bangsa ini masih berpusat di jawa. Ya itu benar. Betapa kita lihat dan bandingkan (Sektor Pendidikan) antara sekolah-sekolah yang ada di luar pulau jawa-dengan yang ada di pulau jawa, maka dapat kita rasakan bahwasanya masih lah banyak ketimpangan dan kesenjangan yang ada di dalamnya, betapa tidak, bahwasanya pendidik-pendidik yang masuk dalam kualitas menengah keatas, semuanya masih berpusat untuk mendidik di Pulau jawa saja, sedangkan untuk pulau luar jawa sungguh masih banyak kekurangan stock pendidik yang berkualitas. maka berkaca dengan itu perlu adantya suatu distribusi pemerataan untuk kalangan pendidik menengah keatas agar dapat mengurangi kesenjangan dan ketimpangan yang ada.

3. Kesejahteraan Pendidik
     Dahulu Ketika nagasaki dan Hirosima (jepang) terkena imbas dari adanya perang dunia ke 2, dimana pada saat itu kedua kota di jepang tersebut luluh lantah karena bom bardir nuklir dari sekutu, maka pasca pemboman tersebut. Oleh kaisar yang  saat itu masih menjabat, hal yang pertama kali ditanya dia adalah "Berapa jumlah Guru yang masih tersisa disini" lantas kemudia sang kaisar mengerahkan energi besar-besaran untuk melakukan restorasi salah satunya adalah membangun kembali pendidikan pasca perang dunia 2, salah satunya adalah dengan menghargai guru sebagai sebagai profesi dan gerakan moral untuk bangkit. hal itu pula tidak di simbolkan dengan retorika-retorikan semata, akan tetapi dengan sebuah bentuk penghargaan yang nyata kepada guru yang masih tersisa yaitu dengan membayar mahal untuk profesi tersebut. coba kita bandingkan dengan apa yang ada diindonesia, dimana formalitaslah yang dibayart mahal tanpa memperhatikan kesungguhan seorang pendidik dalam mengabdikan dirinya untuk ikut serta dalam melunasi janji-janji kemerdekaan. Betapa resah hati ini ketika melihat masih banyak guru honorer yang hanya di bayar 150rb saja dalam sebulan. sungguh amat timpang.

    Jika ketiga hal diatas dapat teratasi, maka sesungguhnya tidak ada yang tidak mungkin untuk mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi kualitas yang sejajar dengan pendidikan nomor 1 dunia (venezuela). yang terpenting dan dapat kita lakukan disini adalah sesuai dengan apa yang Anies baswedan sampaikan, bahwasanya lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan, meningkatkan kapabilias diri menjadi generasi yang kritis optimis, bukan generasi kritis pesimis, generasi yang hanya bisa mengkritik tanpa ada solusi-solusi yang ditawarkan. Mari Turun Tangan, untuk pendidikan yang lebih baik. Bersama "Indonesia Mengajar".